Perilaku Dosen Pengaruhi Keaktifan Mahasiswa di Kelas


 

Di sebuah ruangan kuliah, suasana terasa hening, sementara dosen menerangkan, mahasiswa duduk memperhatikan. Ketika dosen bertanya, “Ada yang ingin ditanyakan?”, seketika itu juga banyak dari mahasiswa yang menundukkan kepalanya, sebagian malah sibuk berdiskusi dengan teman-teman lainnya, alih-alih dosen akan segera menjelaskan materi berikutnya.

 

Pemandangan ini rasanya hampir berlaku di banyak kegiatan perkuliahan di rata-rata perguruan tinggi di Indonesia.  Seperti survey yang dilaksanakan oleh CDC IT Telkom tahun 2008 terhadap sekitar 100 mahasiswa, menyatakan hampir 35% tidak pernah bertanya sama sekali selama 1 semester di beberapa mata kuliah, sementara sekitar 30% mahasiswa jarang, hanya 1 – 2 kali saja bertanya di kelas. Kegiatan belajar mengajar di kelas masih merupakan porsi terbesar dalam proses belajar di berbagai perguruan tinggi. Dari kurang lebih 145 SKS, hanya sekitar 10 SKS yang tidak dilakukan di dalam kelas/ luar kelas. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya kegiatan belajar mengajar dapat menjadi potensi media pengembangan diri (softskill) mahasiswa, salah satunya keterampilan komunikasi mahasiswa.

 

Keterampilan komunikasi tidak diragukan lagi memiliki dampak yang signifikan pada perkembangan karir mahasiswa baik di dunia kuliah maupun kerja. Rata-rata industri pengguna lulusan perguruan tinggi mempersyaratkan kompetensi komunikasi sebagai salah satu komponen utama dalam merekrut calon pegawainya. Artinya, merupakan sebuah kebutuhan bila keterampilan komunikasi dikembangkan ketika kuliah dan pengembangannya salah satunya melalui media belajar mengajar di kelas.

 

Studi yang dilakukan oleh Young & Shaw (1999) menunjukkan bahwa salah satu atribut yang menentukan efektifitas belajar di kelas salah satunya komunikasi yang efektif antara mahasiswa dengan dosen. Pertanyaannya, bagaimana membuat kelas menjadi kelas yang ‘hidup’, yang dapat menjadi sarana pengembangan diri mahasiswanya.  Berbagai metode pembelajaran seperti active learning, problem based learning, telah banyak dicoba diterapkan. Namun demikian metode-metode tersebut diatas akan sulit diterapkan apabila ada penolakan dari siswa untuk terlibat di dalamnya. Pada akhirnya, kembali ke konsep semula, yaitu pemeran utama dan terbanyak tetap dipegang oleh dosen.

 

Melihat kondisi tersebut, kita akan tergerak untuk menelusuri hal-hal penting yang akan mempengaruhi keterbukaan mahasiswa untuk memulai komunikasi dengan para pengajarnya. Hal yang menarik dari hasil survey (2008) oleh CDC IT Telkom adalah bahwa baik pada mahasiswa yang kurang percaya diri dan kurang tertarik pada materi menekankan bahwa perilaku dosen memiliki pengaruh yang positif terhadap kenyamanan mahasiswa untuk bertanya di kelas. Sebanyak 73% dari jumlah sampel mempersepsikan bahwa dosen yang memiliki pembawaan yang santai, humoris dan akrab dengan mahasiswa merupakan bentuk perilaku yang membuat mahasiswa tergerak untuk aktif berpartisipasi di kelas.  Sebaliknya, perilaku dosen seperti tetap duduk di kursi selama kuliah berlangsung, jarang menatap mahasiswa ketika kuliah berlangsung, tidak ramah, merupakan perilaku-perilaku yang membuat mahasiswa cenderung enggan untuk aktif/ berkomunikasi dengan dosen di kelas.

 

Perilaku-perilaku yang disebut oleh mahasiswa tersebut tak lain adalah yang disebut ‘immediacy behavior’, yaitu tingkah laku berkomunikasi dan interaksi nonverbal yang meningkatkan kedekatan pengirim pesan pada penerima pesan. Konsep mengenai perilaku ini dikemukakan oleh seorang ahli psikologi sosial bernama Albert Mehrabian yang menyatakan adanya prinsip “immediacy”, yaitu orang tertarik terhadap orang dan hal-hal yang disukainya, dihargai, dan disukai; dan mereka akan menjauh atau menghindari hal-hal yang tidak disukai, mengkritik, atau tidak mereka sukai.

 

Dalam situasi belajar mengajar, termasuk dalam perilaku ini adalah kontak mata dosen saat berbicara di kelas; variasi vocal sehingga tidak monoton; bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa kita siap untuk berkomunikasi dan rileks. Perilaku lain yang tidak kalah penting diantaranya namun sering kita lupakan adalah senyuman dan memanggil nama siswa yang kita ajar. Perilaku ini terbukti efektif untuk membangun rapport atau kedekatan dengan siswa sebelum memulai pengajaran. Dengan memanggil nama, siswa akan merasa menjadi bagian dari kelas dan kondisi ini akan membuatnya nyaman berinteraksi baik dengan teman dan terutama dosennya.

 

Perilaku-perilaku ini tidak hanya membuat siswa mau secara aktif berkomunikasi, penelitian juga menunjukkan adanya korelasi antara immediacy, motivasi dan belajar pada siswa. Ketika pengajar memunculkan perilaku immediacy, baik verbal maupun non verbal pada siswa, terjadi peningkatan belajar pada mahasiswa.  Siswa tidak hanya akan aktif, tetapi juga akan membuat siswa tertarik dengan materi yang diajarkan, setidaknya selama perkuliahan berlangsung. Seorang ahli di bidang pendidikan, Christophel (1990 )juga menemukan bahwa ancaman/ paksaan pada siswa akan menaikkan proses belajar pada siswa namun pengaruhnya hanya sesaat. Selanjutnya, siswa akan memilih untuk menghindar dari pengajar dan mata kuliah/ pelajaran tersebut.

 

Melihat hasil-hasil penemuan tersebut, rasanya memang tidak terlalu sulit untuk memulai menghidupkan suasana belajar mengajar di kelas, khususnya di ruang kuliah. Senyuman dan bahasa tubuh yang menunjukkan kehangatan dan keinginan untuk berbaur dengan mahasiswa adalah salah satu cara yang sederhana dan efektif untuk memulai kedekatan dengan siswa. Berikutnya, tidak menutup kemungkinan kelas akan terus hidup, bahkan peran utama akan dipegang oleh mahasiswa sebagai pembelajar materi dan peran dosen sebagai fasilitator.

 

Oleh : Litasari Widyastuti Suwarsono, Psi.

Dosen Mata Kuliah Perilaku Organisasi, MSDM


Leave a Reply